Rabu, 12 Januari 2011

Obat Antihistamin


NAMA                :  NUR ERWANTI RAHAYU
KELAS/PRODI :  2-B/S-1
NIM                    :  091.0070
www.stikeshangtuah-sby.ac.id 


ANTIHISTAMIN

Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H1, H2 dan H3. Efek antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas.
Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang dihasilkan dari pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan Nedocromil diduga mempunyai efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma, walaupun mekanisme molekuler yang mendasari efek tersebut belum diketahui hingga saat ini.
Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
Ø  Antagonis H1, terutama digunakan untuk pengobatan gejala-gejalal akibat reaksi alergi. Contoh obatnya adalah: difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine, quetiapine (khasiat antihistamin merupakan efek samping dari obat antipsikotik ini), dan prometazina.
Ø  Antagonis H2, digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan penderita pada tukak lambung serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
Ø  Antagonis H3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam penelitian lebih lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan kardiovaskuler, pengobatan alergi dan kelainan mental. Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.

Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin. Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah penglepasan histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.

ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H1 (AH1) bermanfaat untuk :

Ø  Antagonisme terhadap histamin → AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yahg disertai penglepasan histamin endogen berlebihan. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan  AH1  selain itu AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan menghambat efek histamin yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH 1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gatal pada mata, hidung dan tenggorokan. AH1 efektif terhadap alergi yang disebabkan debu, tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontaknya lama.
ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H2 (AH2)

Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung, perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus dan bronkus domba. Beberapa jaringan seperti otot polos pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.

Ø  SIMETIDIN DAN RANITIDIN → simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektiv dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat. Simetidin dan ranitidin mengurangi volume  dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.
Simetidin dan Ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan 50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800 mg/ml atau kadar ranitidin plasma 100 mg/ml. Tetapi yang lebih penting adalah efek penghambatannya 24 jam. Simetidin 1000 mg/hari menyebabkan penurunan kira-kira 50% dan ranitidin 300 mg/hari menyebabkan penurunan 70% sekresi asam lambung. AH2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison. Dalam hal ini mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk mengurangi kemungkinan timbulnya efek samping akibat besarnya dosis yang diperlukan.

Antihistamin H1 yang lebih spesifik memperbaiki modalitas terapi.

Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan antihistamin H1. Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.
Penemuan modus operandi antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi pertimbangan untuk pemberian obat secara tepat. Demikian juga dengan perkembangan identifikasi serta pengelompokkan antihistamin. Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa  metabolit (desloratadine dan fexofenadine)  dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.

Anti alergi Plus Anti inflamasi

Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa  menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.


Nasib Antihistamin H1 dalam Tubuh
Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati.
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti  astemizole 1,1 hari sementara metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, danm pasien yang menerima  ketokonazol, eritromisin, atau penghambat  microsomal oxygenase lainnya.



 Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation